Pada masa pandemi Covid-19 dan setelah pandemi kelak, bagaimanakah eksistensi dunia fotografi?  Ketika fotografi menjadi serba instan dengan adanya kamera ponsel dan sebutan ‘fotografer’ menjamur di pelbagai wilayah seni dan non-seni, maka arah dan tujuan fotografi lantas dipertanyakan. 

Melalui diskusi bertema “Fotografi: Quo Vadis?” yang diprakarsai oleh Learn From Home (LFH) Virtual Class, pada Jumat, 29 Mei 2020, persoalan tersebut dibahas dari berbagai perspektif. Dekan Fakultas Seni Media Rekam (FSMR), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sekaligus pengajar di Jurusan Fotografi, Dr. Irwandi, M.Sn., yang menjadi narasumber pada LFH malam itu memantik diskusi dengan menyajikan ilustrasi peta fotografi yang makin luas dengan jaringan ekosistem mulai dari pemerintah, kolektor, kritikus, dan Lembaga Pendidikan.

Khusus dalam wilayah akademis, Dr. Irwandi, M.Sn., menyatakan bahwa lembaga pendidikan dituntut untuk menyusun konsep yang jelas dan progresif untuk mengikui perkembangan dunia fotografi. Seperti yang dilakukan oleh Program Studi (Prodi) Fotografi, FSMR, ISI Yogyakarta, dengan mempersiapkan mahasiswa yang akan magang dengan berbagai bekal keterampilan dan wawasan, sehingga  setelah pulang dari magang, mereka senantiasa memiliki awareness terhadap perkembangan dunia fotografi, apalagi saat ini sudah saatnya mengembangkan diri di tengah adanya konvergensi media.  Kurikulum kelak bisa dikembangkan untuk mengikuti industri pasar, sehingga sesuai dengan program ‘Merdeka Belajar’ yang sedang dikembangkan pemerintah saat ini.

Pada wilayah lainnya, misalnya fotografi komersial, beberapa hal juga perlu dipahami dan diantisipasi oleh para fotografer.  Menurut fotografer senior sekaligus pengajar di Nikon School dan di Jurusan Fotografi FSMR, ISI Yogyakarta, Johnny Hendarta, Hon. E.FPSI., fotografi akan selalu berjalan karena fotografi tidak hanya dilihat melalui satu sisi saja.  Sejatinya pekerjaan seorang fotografer hendaknya mengikuti regulasi yang ada saat ini, namun seorang fotografer muda hendaknya lebih dahulu mengasah pengalaman di bidang yang akan ditekuninya kelak agar wawasan ‘fotografer’nya terbuka lebar. Saat ini banyak yang bisa dikerjakan dari bidang fotografi karena tidak hanya sebatas pada proses memotret saja akan tetapi sekarang sudah berkembang demikian rupa dalam zaman konvergensi media.

Fotografi saat ini memiliki nilai tawar yang baik, tergantung dari seorang fotografer atau wirausahawan di bidang fotografi yang memiliki branding yang baik dan prinsip ekonomi yang baik pula dalam memasarkan karyanya. ‘Fotografi: Quo Vadis?’ merupakan sebuah wacana, hendak dibawa ke mana fotografi Indonesia ke depannya, akankah menjadi sebuah hal yang tetap menjanjikan atau sekadar sebuah hegemoni.  Dalam diskusi tersebut, para fotografer senior mencoba memetakan bersama-sama bagaimana arah fotografi ke depannya dan proses regenerasinya.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh Ferry Ardianto, salah seorang fotografer senior lainnya yang juga menekuni Fotografi Komersial. Menurutnya, saat ini kamera bagaikan alat imajinasi dan tanpa sadar tidak dipahami bahwa sebuah karya foto dibuat dengan proses yang tidak sederhana. Sebuah karya foto bukan menjadi penentu buruk atau bagusnya seorang fotografer, akan tetapi sebuah karya harus diberi apresiasi dengan literasi visual yang sesuai, semisal dengan mulai membudayakan pemberian apresiasi dan kritik serta kuratorial di lingkup pendidikan fotografi.

Fotografi di masa mendatang akan semakin berkembang asalkan fotografi tidak sekadar dilihat sebagai fotografi itu semata.  Pembantu Dekan I FSMR, Pamungkas Wahyu Setiyanto, M.Sn., menyampaikan bahwa fotografi itu sebaiknya dijadikan sebagai sebuah perilaku, sehingga fotografi akan semakin berkembang.  Perlu juga dipahami bahwa fotografi bisa berada di setiap kehidupan manusia, karena  bisa secara ‘cair’ masuk ke bidang apapun. Saat ini lembaga yang bergerak di bidang fotografi memiliki peran penting, karena lembaga itu akan menjadi acuan standar serta menjadi laboratorium untuk pengembangan fotografi sehingga fotografi tidak sekadar teknis memotret saja tetapi kemampuan estetis dan keilmuannya juga lebih jelas. Fotografer dapat berperan aktif untuk mengikuti sertifikasi kompetensi fotografi yang melingkupi Knowledge, Skill, dan Attitude demi menegakkan standardisasi keahliannya.

Hal menarik lainnya diungkapkan oleh pengajar senior di Jurusan Fotografi, Dr. Edial Rusli, S.E., M.Sn., yaitu dengan adanya kategorisasi dan perbedaan genre justru akan menjadikan peta perkembangan fotografi Indonesia semakin berwarna.  Pak Ed, demikian beliau sering disapa, memberi contoh dengan fotografi Fine Art yang pada perkembangannya bisa mengikuti pasar Fotografi Jurnalistik.

Dalam diskusi tersebut banyak yang berpendapat jika perkembangan dunia fotografi secara dominan terlahir dari lembaga-lembaga pendidikan fotografi. Oleh karenanya, sebaiknya regulasi terkait dunia fotografi juga diterbitkan oleh lembaga-lembaga pendidikan fotografi tersebut.  Dengan demikian, bukanlah lembaga sertifikasi ataupun asosiasi yang membuat kebijakan karena lembaga pendidikan diasumsikan lebih mengetahui kebutuhan pasar dan bagaimana cara mendidik para calon fotografer dengan baik. (Red)

QUO VADIS EDIAL RUSLI
Pengajar senior Jurusan Fotografi Fotografi Dr. Edial Rusli, S.E., M.Sn., menyampaikan pendapatnya saat berlangsungnya diskusi fotografi bertajuk “Fotografi: Quo Vadis?” yang diprakarsai oleh Learn From Home (LFH) Virtual Class pada hari Jumat, 29 Mei 2020. Menurutnya kategorisasi dan perbedaan genre justru akan menjadikan peta perkembangan fotografi Indonesia semakin berwarna. 
QUO VADIS IRWANDI
Pembicara utama, Dr. Irwandi, M. Sn. menyampaikan pemaparan mengenai arah perkembangan fotografi saat diskusi fotografi bertajuk “Fotografi: Quo Vadis?” yang diprakarsai oleh Learn From Home (LFH) Virtual Class pada hari Jumat, 29 Mei 2020.  Ia menjabarkan bahwa fotografi harus memiliki jaringan ekosistem yang baik dengan berbagai pihak, seperti pemerintah, kolektor, kritikus, dan Lembaga Pendidikan. 
QUO VADIS JOHNNY HENDARTA
Fotografer senior sekaligus pengajar di Nikon School dan Jurusan Fotografi FSMR, ISI Yogyakarta, Johnny Hendarta mengutarakan pendapat saat diskusi fotografi bertajuk “Fotografi: Quo Vadis?” yang diprakarsai oleh Learn From Home (LFH) Virtual Class berlangsung pada hari Jumat, 29 Mei 2020. Menurut Johnny Hendarta, iklim fotografi di Indonesia akan selalu ada dan berkembang namun fotografer dituntut untuk selalu mengikuti regulasi yang ada dan mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan pasar.

Bagikan


2 Komentar

Comments are closed.